(Foto Bambang Widjojanto)
Jakarta, reporter.com - Mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW), menilai pimpinan KPK saat ini layak diberhentikan buntut polemik operasi tangkap tangan (OTT) yang kemudian menjerat Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka. BW menyebut pimpinan KPK harus dinyatakan melakukan pelanggaran berat.
BW mulanya menyoroti pernyataan pimpinan KPK, Yohanis Tanak, yang melimpahkan kesalahan OTT Basarnas kepada penyelidik. Menurut BW, pernyataan Tanak itu keliru.
"Pernyataan pimpinan KPK, Yohanis Tanak, bahwa OTT dan penetapan Tersangka Ketua Basarnas dengan menyatakan adanya kekhilafan dan kelupaan dengan menuding kesalahan ada pada Tim Penyelidik adalah keliru, naif, konyol, absurd, dan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat. Begitu pun ketika kasus OTT itu dinyatakan, diserahkan pada TNI, bukan KPK yang menangani," kata BW dalam keterangan tertulis, Minggu (30/7/2023).
BW Ungkap Kesalahan Fatal Pimpinan KPK
BW menilai ada kesalahan sangat fatal dan mendasar dari pimpinan KPK atas pemahaman mengenai Basarnas serta tugas dan kewajibannya.
"Lembaga Basarnas adalah Lembaga nonpemerintahan tapi bukan Lembaga militer, siapapun kepalanya adalah pimpinan nonpemerintahan adalah penyelenggara pemerintahan dan bukan komandan dari suatu institusi militer," ujar Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda itu.
BW lalu menjelaskan mengenai dasar argumennya sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 19 Tahun 2014 yang berbunyi 'Basarnas adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan sesuai UU No. 29 Tahun 2014 Tentang Pencarian dan Pertolongan'.
"Pada Pasal 5 dinyatakan dengan sangat jelas, Negara bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Basarnas sesuai Pasal 1 angka 7 UU di atas," ujar BW.
BW juga mengutip isi Pasal 42 UU KPK tengang kewenangan KPK untuk mengoordinasikan, mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
"Lembaga Basarnas adalah Lembaga nonpemerintahan tapi bukan Lembaga militer, siapapun kepalanya adalah pimpinan nonpemerintahan adalah penyelenggara pemerintahan dan bukan komandan dari suatu institusi militer," ujar Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda itu.
BW lalu menjelaskan mengenai dasar argumennya sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 19 Tahun 2014 yang berbunyi 'Basarnas adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan sesuai UU No. 29 Tahun 2014 Tentang Pencarian dan Pertolongan'.
"Pada Pasal 5 dinyatakan dengan sangat jelas, Negara bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Basarnas sesuai Pasal 1 angka 7 UU di atas," ujar BW.
BW juga mengutip isi Pasal 42 UU KPK tengang kewenangan KPK untuk mengoordinasikan, mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
"Dugaan tindak kejahatan yang dilakukan Kepala Basarnas tindak korupsi yang dilakukan penyelenggara negara bukan komandan militer di institusi kemiliteran; serta seandainya, pelaku masih aktif di militer tapi kejahatan dilakukan bersama dengan pihak yang tindak tunduk pada peradilan militer sehingga KPK tetap dapat otoritas untuk mengoordinasikan dan mengendalikan proses pemeriksaan atas kejahatan dimaksud," papar BW.
"Berpijak pada beberapa alasan di atas, Pimpinan KPK harus dinyatakan melakukan kesalahan fatal & pelanggaran berat atas etik dan perilaku sehingga kehilangan "kepantasan " untuk menjadi Pimpinan KPK dan sangat layak diminta untuk mengundurkan diri atau "diberhentikan"," ujar BW.
Lebih lanjut, BW menilai tindakan pimpinan KPK juga dapat dinilai melanggar prinsip akuntabilitas dan mengindikasikan terbatasnya kompetensi. Sehingga, kata dia, hal itu dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan tercela dan dimintai pertanggungjawaban karena telah melempar kesalahan pada bawahan dengan memberikan hukuman pada penyelidik KPK.
"Pimpinan KPK harus mencabut kembali pernyataannya dan memeriksa kembali kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK. Panglima ABRI diminta menolak menerima pelimpahan kasus serta tidak melakukan tindakan yang justru dapat dinilai sebagai perbuatan yang "melindungi" kejahatan korupsi. Institusi ABRI selama ini sudah dipersepsi publik dengan sangat baik sehingga harus terus menjaga martabat & kewibawannya," beber BW.
"Tindakan Pimpinan KPK seperti diuraikan dijadikan dasar untuk menghukum Pimpinan KPK untuk mengundurkan diri atau diberhentikan dan hal itu dapat dilakukan oleh Presiden RI melalui pemeriksaan awal yang dilakukan Dewan Pengawas KPK yang melibatkan informal leader yang integritasnya tidak diragukan kembali," imbuh BW.
Pimpinan KPK Limpahkan Kesalahan ke Penyidik
Dalam OTT di Basarnas, ada lima orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Kelima tersangka itu terdiri atas tiga pihak swasta selaku pemberi suap dan dua oknum TNI masing-masing Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto selaku penerima suap.
Pengumuman tersangka kepada dua anggota TNI itu direspons pihak Puspom TNI. Mereka keberatan atas langkah yang dilakukan KPK.
Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko mengatakan penetapan tersangka KPK dalam hal ini keliru. Sebab, lanjut dia, penetapan tersangka hanya bisa dilakukan oleh Puspom TNI karena statusnya masih perwira aktif.
"Penyidik itu kalau polisi, nggak semua polisi bisa, hanya penyidik polisi. KPK juga begitu, nggak semua pegawai KPK bisa, hanya penyidik, di militer juga begitu. Mas, sama. Nah, untuk militer, yang bisa menetapkan tersangka itu ya penyidiknya militer, dalam hal ini Polisi Militer," jelasnya saat dihubungi, Jumat (28/7).
Dari sini polemik OTT di Basarnas dimulai. Rombongan TNI dipimpin Marsda Agung lalu menyambangi gedung KPK pada Jumat (28/7) sore untuk menanyakan bukti hingga penetapan Kabasarnas sebagai tersangka.
Setelah melakukan audiensi, KPK diwakili Wakil Ketua KPK Johanis Tanak didampingi petinggi TNI memberikan keterangan mengenai hasil audiensi. Johanis Tanak lalu menyampaikan permohonan maaf kepada TNI terkait penanganan kasus korupsi di Basarnas.
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan bahwasanya mana kala ada melibatkan TNI, harus diserahkan kepada TNI, bukan kita, bukan KPK yang tangani," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam jumpa pers di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (28/7).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata buka suara soal kisruh operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap di Basarnas. Alexander menyatakan tidak pernah menyalahkan penyelidik atas polemik yang telah terjadi di kasus tersebut.
"Saya tidak menyalahkan penyelidik/penyidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya," kata Alexander dalam keterangan kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Alexander juga menjadi pimpinan KPK yang mengumumkan kelima tersangka tersebut dalam konferensi pers yang digelar KPK pada Rabu (26/7). Dia menyatakan penetapan tersangka itu telah memenuhi kecukupan alat bukti.
Menurut Alexander, pihak TNI nantinya secara administratif akan menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk dalam menetapkan Kabasarnas dan Koorsmin sebagai tersangka.
"Secara substansi/materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Secara administratif nanti TNI yang menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK," ujar Alexander.
"Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," tutur Alexander.
Social Header