Blitar, reporter.web.id – Ribuan warga Kabupaten Blitar tercatat sebagai penderita gangguan jiwa. Mirisnya mereka yang terkena gangguan jiwa ini berada di usia produktif.
Data yang dimiliki RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar menyebut sejak Januari hingga Oktober 2023, sedikitnya ada 5.057 pasien penderita gangguan jiwa yang berobat ke poliklinik jiwa. Para penderita gangguan jiwa yang berobat RSUD Ngudi Waluyo Wlingi ini mayoritas adalah pria.
“Itu hanya angka yang tampak dari yang sudah ditangani ya. Saya menilai masih banyak masyarakat di luar sana yang menderita gangguan jiwa namun mereka abaikan. Jadi tidak mendapatkan penanganan dini,” kata Direktur RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, Endah Woro Utami, Kamis (10/11/2023).
Gambaran secara umum di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, jumlah penderita gangguan jiwa terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa di Kabupaten Blitar ini mulai mengalami peningkatan drastis saat pandemi Covid-19 dan berlangsung hingga sekarang.
Tercatat di 2020 sebanyak 2.430 pasien gangguan jiwa, 2021 sebanyak 2.638 pasien. Kemudian naik hampir dua kali lipat di 2022 menjadi 4202 pasien, dan makin tinggi tercatat sampai Oktober 2023 ini sebanyak 5.057 pasien.
“Rentang usia yang berpotensi depresi itu antara 15 sampai 39 tahun. Namun dari rentang usia itu, penderita gangguan jiwa terbanyak didominasi pria di usia produktif. Yakni di rentang usia 24 sampai 44 tahun,” ungkapnya.
Para penderita gangguan jiwa yang datang ke klinik jiwa RSUD Ngudi Waluyo ini rata-rata adalah mereka yang dengan terbuka menjalani konseling psikologis. Kemudian berlanjut ke terapi pengobatan oleh psikiater karena terdeteksi hal patologis tidak normal yang menjadi kewenangan dokter jiwa.
RSUD Ngudi Waluyo sendiri memiliki 10 diagnosa gangguan jiwa, di antaranya diagnosa generalized schizophrenia, depressive, hingga paranoid. Semua menunjukkan hal yang sama yakni peningkatan di setiap spesifikasi diagnosa gangguan kejiwaan.
Dalam hal diagnosa generalized schizophrenia misalnya, di 2021 cuma ada 84 pasien, kemudian meningkat di tahun 2022 menjadi 884 pasien dan 2023 naik lagi menjadi 932 pasien.
Kemudian hal yang sama juga nampak pada diagnosa paranoid schizophrenia di 2021 hanya ada 84 pasien saja. Tetapi di 2022 naik drastis menjadi 502 pasien dan di 2023 naik jadi 514 pasien.
Sementara untuk diagnosa depressive episode dari 13 pasien di tahun 2021, naik menjadi 240 pasien di tahun 2022. Dan terus naik menjadi 393 pada tahun 2023 ini. Jika diamati angka penderita gangguan jiwa ini naik terus menerus saat pandemi Covid-19 lalu dan terus meningkat hingga sekarang.
“Dari data ini terlihat pria usia produktif mendominasi penderita gangguan jiwa. Karenanya, keluarga harus menjadi yang terdepan mendampingi selama proses terapi pengobatannya. Karena gangguan jiwa ini bukan aib. Namun jika dibiarkan akan membahayakan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya,” cerita Woro.
Minimnya literasi masyarakat terkait gangguan jiwa, membuat banyak orang yang terlambat mendapatkan penanganan medis. Hingga berakibat gangguan jiwa makin serius dari indikasi awal depresi hingga menjadi schizophrenia dan paranoid.
“Kita sering mengabaikan, susah tidur, malas makan, malas mandi, pengen tidur terus itu gejala awal gangguan jiwa. Jika kita abaikan, akan meningkat sampai pada schizophrenia atau paranoid,” tutupnya.
Meski angka penderita gangguan jiwa meningkat namun hal itu bukan lah yang menjadi perhatian utama. Yang lebih penting yakni kesadaran warga tentang pentingnya pemeriksaan kejiwaan bagi setiap orang yang merasa mengalami gejala awal gangguan jiwa.
Sehingga proses pengobatan dan penyembuhan bisa dilakukan lebih cepat. Dan kemungkinan seseorang tersebut sembuh dari penyakit jiwa yang dideritanya juga bisa lebih besar. (red.al)
Social Header